Setau saya pada waktu presiden obama berpidato beliau slalu mengucapkan “saya pulang kampung” dan pak presiden obama banyak berbicara bahasa Indonesia seperti sate,bakso,dan bemo dan beliau terut berduka cita kepada para korban bencana tsunami di daerah mentawai dan gunung meletus (merapi Yogyakarta) khususnya bagi mereka yang kehilangan orang tercinta serta tempat tinggal. Amerika Serikat senantiasa ada di sisi pemerintah dan bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana alam ini, dan kami akan dengan senang hati menolong semampunya. Sebagaimana tetangga yang mengulurkan tangan kepada tetangganya yang lain, dan banyak keluarga menampung orang-orang yang kehilangan rumah, saya tahu bahwa kekuatan dan ketahanan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan sanggup mengangkat kalian keluar dari kesusahan ini.
“Pertama kali Presiden Obama bersentuhan dengan negeri ini adalah ketika ibunya menikahi seorang pria Indonesia bernama Lolo Soetoro. Sebagai seorang bocah, saya terdampar di sebuah dunia yang berbeda. Namun, orang-orang di sini membuat saya merasa berada di rumah saya sendiri. Pada masa itu, Jakarta terlihat begitu berbeda. Kota ini disesaki gedung-gedung yang tak begitu tinggi. Hotel Indonesia adalah salah satu bangunan tinggi. Jumlah becak jauh lebih banyak daripada kendaraan bermotor. Dan jalan raya tersisih oleh jalan-jalan kampung tak beraspal. Kami tinggal di Menteng Dalam, pada sebuah rumah mungil yang halamannya ditumbuhi sebatang pohon mangga. Saya belajar mencintai Indonesia pada saat menerbangkan layang-layang, berlarian di sepanjang pematang sawah, menangkap capung, dan jajan sate atau bakso dari pedagang keliling. Yang paling saya kenangkan adalah orang-orangnya: lelaki dan perempuan sepuh yang menyapa kami dengan senyumnya; anak-anak yang membuat seorang asing seperti saya jadi seperti tetangga. Sumber vivanews.com”
“Pertama kali Presiden Obama bersentuhan dengan negeri ini adalah ketika ibunya menikahi seorang pria Indonesia bernama Lolo Soetoro. Sebagai seorang bocah, saya terdampar di sebuah dunia yang berbeda. Namun, orang-orang di sini membuat saya merasa berada di rumah saya sendiri. Pada masa itu, Jakarta terlihat begitu berbeda. Kota ini disesaki gedung-gedung yang tak begitu tinggi. Hotel Indonesia adalah salah satu bangunan tinggi. Jumlah becak jauh lebih banyak daripada kendaraan bermotor. Dan jalan raya tersisih oleh jalan-jalan kampung tak beraspal. Kami tinggal di Menteng Dalam, pada sebuah rumah mungil yang halamannya ditumbuhi sebatang pohon mangga. Saya belajar mencintai Indonesia pada saat menerbangkan layang-layang, berlarian di sepanjang pematang sawah, menangkap capung, dan jajan sate atau bakso dari pedagang keliling. Yang paling saya kenangkan adalah orang-orangnya: lelaki dan perempuan sepuh yang menyapa kami dengan senyumnya; anak-anak yang membuat seorang asing seperti saya jadi seperti tetangga. Sumber vivanews.com”